Wednesday, February 3, 2010

PEMUDA MENYIKAPI PASAR BEBAS



Oleh: Wahyu Mastariningsih*
Sebelum membahas bagaimana pemuda menyikapi pasar bebas, saya akan mencoba membahas tentang pasar bebas terlebih dahulu, termasuk didalamnya hal-hal yang mendasarinya, sekilas tentang sejarahnya, dampak yang ditimbulkan bagi duni terutama Indonesia, setelah itu peran kita sebagai pemuda, generasi penerus bangsa dalam menyikapi pasar bebas ini

PASAR BEBAS
Sering kita dengar media biasa menggunakan kata-kata: "Rupiah anjlok karena pemerintah tidak mengikuti kemauan pasar  atau  kehendak  pasar".  Inilah  yang  dimaksud  sebagai  keterikatan  terhadap  Modal  atau keterikatan  terhadap  Ekonomi  Pasar.  Arti  yang  dimaksud  dari  istilah  "pasar"  tersebut  adalah sistem ekonomi yang kapitalistik. "Pasar Bebas" artinya kebebasan bergerak dari ekonomi modal (dan  para  pemilik  modal)  sebebas-bebasnya.  Pasar  bebas  adalah  mesin  utama  dari  Globalisasi yang  saat  ini  sedang  naik  daun.  Dan  untuk  memahami  Pasar  Bebas  ini,  maka  kita  perlu memahami  Neo-Liberalisme  (liberalisme  baru).  Inilah  ideologi  mutakhir  kapitalisme  yang  saat  ini sedang  jaya-jayanya,  terutama  slogan  TINA  (There  is  No  Alternatives)  dari  mulut  Margaret Thatcher salah seorang pengikut Hayek. Semenjak 1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF dan WTO.

NEO-LIBERALISME
Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak terjang badan-badan multilateral  dunia;  kita  dapat  memahami  perubahan  kebijakan  domestik  di  negara-negara  maju; kita dapat memahami mengapa terjadi krisis moneter dan ekonomi yang tidak berkesudahan; kita dapat  memahami  mengapa  Indonesia  didikte  dan  ditekan  terus  oleh  IMF;  kita  dapat  memahami mengapa  Rupiah  tidak  pernah  stabil;  kita  dapat  memahami  mengapa  BUMN  didorong  untuk  di-privatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air, BBM, dan pajak naik; kita dapat memahami mengapa impor beras dan bahan pangan lain masuk deras ke Indonesia; kita dapat memahami mengapa ada BPPN, Paris Club, Debt Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yang
membingungkan dan memperdayai publik.

Program  Neo-Liberal  yang  terkenal  dan  dipraktekkan  dimana-mana  adalah  SAP (Structural Adjustment Program) yaitu Program penyesuaian struktural yang merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF, termasuk juga yang dilaksanakan WTO namun dengan nama yang berbeda. WTO memakai istilah-istilah seperti fast-track, progressive liberalization, harmonization dan lain-lain, yang  Intinya tetap sama. Dengan nama yang sopan  "penyesuaian  struktural", namun yang sebenarnya dimaksud adalah  "penghancuran  dan  pendobrakan  radikal"  terhadap struktur  dan  sistem  lama  yang  tidak  bersesuaian  dengan  mekanisme  pasar  bebas  murni.

Jadi Pasar  Bebas  adalah  intinya  (mesin  penggeraknya),  Neo-Liberal  adalah  ideologinya,  dan  SAP adalah  praktek  atau  implementasinya.  Sementara  tujuannya  adalah  ekspansi  sistem  kapitalisme global.

PASAR BEBAS VERSI NEO-LIBERALISME
Sejarah Neo-Liberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich von Hayek
(1899-1992)  yang  bisa  disebut  sebagai  Bapak  Neo-Liberal.  Hayek  terkenal  juga  dengan  julukan
ekonom ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah Milton Friedman, pencetus monetarisme.
Pandangan  Neo-Liberal  dapat  diamati  dari  pikiran  Hayek.  Bukunya  yang  terkenal  adalah 
"The Road to Serfdom" (Jalan ke Perbudakan)
Buku tersebut kemudian  menjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di  Reader’s Digest di tahun 1945. Neo-liberal menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan individu  berjalan  sepenuhnya  dan  campur  tangan  sesedikit  mungkin  dari  pemerintah  dalam kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individu akan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan para individu  untuk  memecahkan  persoalan  masyarakat  tidak  perlu  disalurkan  melalui  lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka Neo-liberal juga tidak percaya pada Serikat Buruh atau organisasi masyarakat lainnya.
Dengan  demikian  Neo-liberal  secara  politik  terus  terang  membela  politik  otoriter. 
Demokrasi  politik,  menurut  neo-Liberal,  dengan demikian  adalah  sistem  politik  yang  menjamin  terlaksananya  kebebasan  individu  dalam  melakukan  pilihan  dalam  transaksi  pasar,  bukan  sistem  politik  yang  menjamin  aspirasi  yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat. Bahkan salah seorang pentolan neo-Liberal, William Niskanen, menyatakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan kepentingan  rakyat  banyak  adalah  pemerintah  yang  tidak  di nginkan  dan  tidak  akan  stabil.  Bila terjadi  konflik  antara  demokrasi  dengan  pengembangan  usaha  yang  kapitalistis,  maka  mereka memilih untuk mengorbankan demokrasi.
Salah satu benteng neo-liberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek mengajar di situ antara
tahun  1950  sampai  1961,  dan  Friedman  menghabiskan  seluruh  karir  akademisnya.  Karena  itu
mereka juga terkenal sebagai "Chicago School". Buku Friedman adalah "The Counter Revolution in  Monetary  Theory",  yang  menurutnya  telah  dapat  menyingkap  hukum  moneter  yang  telah diamatinya  dalam  berabad-abad  dan  dapat  dibandingkan  dengan  hukum  ilmu  alam.  Friedman percaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim. Dengan demikian, neo-Liberal  tidak  mempersoalkan  adanya  ketimpangan  distribusi  pendapatan  di  dalam masyarakat. Pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya semata-mata dianggap  sebagai  manifestasi  dari  kegiatan  individu  atas  dasar  kebebasan  memilih  dan persaingan  bebas.  Efek  sosial  yang  ditimbulkan  oleh  kekuasaan  ekonomi  pada  segelintir kelompok  kuat  tidak  dipersoalkan  oleh  neo-Liberal.  Karenanya  demokrasi  ekonomi  tidak  ada  di dalam agenda kaum neo-Liberal.
Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar. Sejak itu pulalah seluruh paradigma  ekonomi  secara  perlahan  masuk  ke  dalam  cara  berpikir  neo-Liberal,  termasuk  ke dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi WTO). Doktrin pokok dari Thatcher adalah paham kompetisi – kompetisi di antara  negara,  di  antara  wilayah,  di  antara  perusahaan-perusahaan,  dan  tentunya  di  antara  individu.
Kompetisi  adalah  keutamaan,  dan  karena  itu  hasilnya  tidak  mungkin  jelek.  Karena  itu  kompetisi dalam  pasar  bebas  pasti  baik  dan  bijaksana.  Kata  thatcher  suatu  kali,  “Adalah  tugas  kita  untuk  terus  mempercayai  ketidakmerataan,  dan  melihat  bahwa  bakat  dan  kemampuan  diberikan  jalan
keluar  dan  ekspresi  bagi  kemanfaatan  kita  bersama”.  Artinya,  tidak  perlu  khawatir  ada  yang  tertinggal dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Akan tetapi ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat pada semua orang.

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PASAR BEBAS, NEO-LIBERALISME
Sejak  1980-an  pula,  bersamaan  dengan  krisis  hutang  Dunia  Ketiga,  maka  paham  neo-Liberal menjadi paham kebijakan badan-badan dunia  multilateral  Bank  Dunia, IMF dan  WTO. Tiga poin dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal  yang  bebas;  dan  kebebasan  investasi.  Sejak  itu  Kredo (paham) neo-Liberal  telah  memenuhi  pola pikir  para  ekonom  di  negara-negara  tersebut.  Kini  para  ekonom  selalu  memakai  pikiran  yang standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya. Kaum mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik, kini juga berpindah paham menjadi neo-liberal. Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:
1.  ATURAN PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan  pemerintah.  Keterbukaan  sebesar-besarnya  atas  perdagangan  internasional  dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh.  Tidak  ada  lagi  kontrol  harga.  Sepenuhnya  kebebasan  total  dari  gerak  modal,  barang dan jasa.
2.  MEMOTONG  PENGELUARAN  PUBLIK  DALAM  HAL  PELAYANAN  SOSIAL.  Ini  seperti
terhadap  sektor  pendidikan  dan  kesehatan,  pengurangan  anggaran  untuk  ‘jaring  pengaman’
untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti
jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka
tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
3.  DEREGULASI.  Mengurangi  paraturan-peraturan  dari  pemerintah  yang  bisa  mengurangi
keuntungan pengusaha.
4.  PRIVATISASI.  Menjual  BUMN-BUMN  di  bidang  barang  dan  jasa  kepada  investor  swasta.
Termasuk  bank-bank,  industri  strategis,  jalan  raya,  jalan  tol,  listrik,  sekolah,  rumah  sakit,
bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya
berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar
lebih banyak.
5.  MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS.
Menggantinya  dengan  “tanggungjawab  individual”,  yaitu  menekankan  rakyat  miskin  untuk mencari  sendiri  solusinya  atas  tidak  tersedianya  perawatan  kesehatan,  pendidikan,  jaminan
sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.

Dalam  kaitannya  dengan  pelaksanaan  program  di  Bank  Dunia  dan  IMF  ini,  maka  program  neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:
1.  Paket  kebijakan                      Structural  Adjustment  (Penyesuaian  Struktural),  terdiri  dari  komponen-
komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b) Devaluasi; (c)
Kebijakan  moneter  dan  fiskal  dalam  bentuk:  pembatasan  kredit,  peningkatan  suku  bunga
kredit,  penghapusan  subsidi,  peningkatan  pajak,  kenaikan  harga public  utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.
2.  Paket  kebijakan  deregulasi,  yaitu:  (a)  intervensi  pemerintah  harus  dihilangkan  atau
diminimumkan  karena  dianggap  telah  mendistorsi  pasar;  (b)  privatisasi  yang  seluas-luasnya
dalam  ekonomi  sehingga  mencakup  bidang-bidang  yang  selama  ini  dikuasai  negara;  (c)
liberalisasi  seluruh  kegiatan  ekonomi  termasuk  penghapusan  segala  jenis  proteksi;  (d)
memperbesar  dan  memperlancar  arus  masuk  investasi  asing  dengan  fasilitas-fasilitas  yang
lebih luas dan longgar. 
3.  Paket  kebijakan  yang  direkomendasikan  kepada  beberapa  negara  Asia  dalam  menghadapi
krisis  ekonomi  akibat  anjloknya  nilai  tukar  mata  uang  terhadap  dol ar  AS,  yang  merupakan
gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini.
PASAR BEBAS, NEO-LIBERALISME di INDONESIA
Di  Indonesia,  paham  neo-liberal  mulai  terasa  pengaruhnya  di  tahun  1980-an,  ketika  pemerintah
mulai  menerapkan  kebijakan  liberalisasi  keuangan  dan  ekonomi,  yang  berujud  dalam  berbagai
paket deregulasi  semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutang
dunia  Ketiga  di  tahun  1982,  ketika  Mexico                        default  (menyatakan  tidak  mampu  membayar
hutangnya). Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yang
terkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin dan
Afrika.  Indonesia  belumlah  terkena  krisis,  dan  karenanya  jauh  dari  hiruk-pikuk  SAP.  Akan  tetapi
sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal, khususnya
karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF.
Berbagai kebijakan deregulasi perbankan dan keuangan di awal tahun 1980-an adalah awal dari
liberalisme  ekonomi  dan  dominasi  paham  neo-liberal  di  antara  para  ekonom.  Sejak  itu  berbagai
kebijakan, peraturan, dan tindakan pemerintah adalah untuk melayani kepentingan korporasi, yang
pada  masa  itu  adalah  para  konglomerat  Orde  Baru,  keluarga  Suharto  dan  TNC/MNC (pemodal asing) yang digandengnya.
Globalisasi  melestarikan  kompradorisme  (kaki  tangan  dan  kepanjangan  tangan  kapitalisme
internasional),  tetapi  sekaligus  juga  hendak  menancapkan  kukunya  lebih  dalam  lagi  guna
menguasai  secara  total  perekonomian  nasional  suatu  negara.  Pada  intinya  adalah
menghancurkan  kedaulatan  nasional. Kaum  komprador  yang  terlalu  berkuasa  secara  nasional
juga tidak mereka sukai, seperti kerajaan bisnis Suharto serta kroni-kroni konglomeratnya, karena
seringkali  mampu  menghalang-halangi  kepentingan  kapital  global  untuk  kepentingan  mereka
sendiri  yang  mengganggu  mekanisme  pasar.  Yang  mereka  inginkan  sekarang  adalah  dominasi
sepenuhnya, mekanisme pasar sepenuhnya, dan kontrol hukum sepenuhnya.
Kita  bisa  mencatat  banyak  kejadian  kasus  globalisasi  yang  kemudiannya  telah  menghancurkan
dan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional, kedaulatan hukum, dan korban
berjuta-juta rakyat Indonesia memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus berlanjut hingga
kini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang tidak mau
diakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu menyalahkannya kepada
pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari segi KKN, korupsi,  bad-governance dan lainnya
sistem Pasar Bebas yang kapitalistik memanfaatkan KKN untuk keuntungan
pemodal  asing  (TNC/MNC)  dari  negara-negara  maju.  Contoh  paling  jelas  adalah    Freeport  di
Papua dan Exxon di Aceh. Sistem pasar bebas dan globalisasi ini mengekalkan hubungan neo-
kolonialisme-imperialisme,  sehingga  Indonesia  sukar  sekali  keluar  dari  ketergantungannya  pada
negara-negara maju dan badan-badan dunia tersebut.

MALAPETAKA NASIONAL
1.  Perampokan besar-besaran Bank Sentral
2.  Tambal sulam kemiskinan lewat utang
3.  Penghancuran ketahanan pangan
4.  Penciptaan pasar tanah
5.  Penguasaan air minum
6.  Mafia Utang lewat Kredit Ekspor
7.  Penjarahan kekayaan intelektual masyarakat/komunitas

PERAN PEMUDA
?????



*) salah seorang PW PII NTB

No comments:

Post a Comment